1.1 Manusia dalam Pandangan Hidup
Setiap manusia mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup itu
bersifat kodrati karena ia menentukan masa depan seseorang. Pandangan
hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan,
pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu
merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah
menurut waktu dan tempat hidupnya. Dengan demikian pandangan hidup itu
bukanlah timbul seketika atau dalam waktu yang singkat saja, melainkan
melalui proses waktu yang lama dan terus menerus, sehingga hasil
pemikiran itu dapat diuji kenyataannya. Hasil pemikiran itu dapat
diterima oleh akal, sehingga diakui kebenarannya. Atas dasar itu manusia
menerima hasil pemikiran itu sebagai pegangan, pedoman, arahan, atau
petunjuk yang disebut pandangan hidup.
Pandangan hidup berdasarkan asalnya yaitu terdiri dari 3 macam :
1. Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya.
2.
Pandangan hidup yang berupa ideology yang disesuaikan dengan kebudayaan
dan norma yang terdapat pada suatu Negara.
3. Pandangan hidup hasil renungan yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya.
Apabila pandangan hidup itu diterima oleh sekelompok orang
sebagai pendukung suatu organisasi, maka panandangan hidup itu disebut
ideology. Pandangan hidup pada dasarnya mempunyai unsure unsur yaitu :
cita-cita, kebajikan, usaha, keyakinan/kepercayaan. CIta-cita ialah apa
yang diinginkan yang mungkin dapat dicapai dengan usaha atau perjuangan.
Tujuan yang hendak dicapai ialah kebajikan, yaitu segala hal yang baik
yang membuat manusia makmur, bahagia, damai, tentram. Usaha atau
perjuangan adalah kerja keras yang dilandasi keyakinan/kepercayaan.
Keyakinan/kepercayaan diukur dengan kemampuan akal, kemampuan jasmana,
dan kepercayaan kepada Tuhan.
Cita-cita
Menurut kamus umum bahasa Indonesia cita-cita adalah
keinginan, harapan, tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Baik
keinginan, harapan, maupun tujuan merupakan apa yang mau diperoleh
seseorang pada masa mendatang. Dengan demikian cita-cita merupakan
pandangan masa depan, merupakan pandangan hidup yang akan dating. Pada
umumnya cita-cita merupakan semacam garis linier yang makin lama makin
tinggi, dengan perkataan lain : cita-cita merupakan keinginan, harapan,
dan tujuan manusia yang makin tinggi tingkatannya. Apabila cita-cita itu
tidak mungkin atau belum mungkin terpenuhi, maka cita-cita itu disebut
angan-angan.
Disini persyaratan dan kemampuan tidak/belum dipenuhi
sehingga usaha untuk mewujudkan cita-cita itu tidak mungkin dilakukan.
Antara masa sekarang yang merupakan realita dengan masa yang akan dating
sebagai ide atau cita-cita terdapat jarak waktu. Dapatkan seseorang
mencapai apa yang dicita-citakannya tergantung dari 3 faktor; pertama
factor manusia yang memiliki cita-cita, kedua kondisi yang dihadapi
selama mencapai apa yang dicita-citakannya dan ketiga seberapa tinggikah
cita-cita yang hendak dicapai.
Kebajikan
Kebajikan atau kebaikan atau perbuatan yang mendatangkan
kebaikan pada hakekatnya sama dengan perbuatan moral, perbuatan yagn
sesuai dengan norma-norma agama dan etika. Manusia berbuat baik, karena
menurut kodratnya manusia itu baik, mahluk bermoral. Atas dorongan suara
hatinya manusia cenderung berbuat baik. Sebagai mahluk pribadi, manuda
dapat menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang buruk. Baik dan
buruk itu ditentukan oleh suara hati. Suara hati adalah semacam bisikan
didalam hati yang mendesak seseorang, untuk menimbang dan menentukan
baik buruknya suatu perbuatan, tindakan atau tingkah laku. Jadi suara
hati dapat merupakan hakin untuk diri sendiri.
Suara hati selalu memilik yang baik, sebab itu ia
selalu mendesak orang untuk berbuat yang baik bagi dirinya. Oleh karena
itu, kalau seseorang berbuat sesuatu sesuai dengan bisikan hatinya, maka
orang tersebut perbuatannya pasti baik. Jadi berbuat dan bertindak
menurut suara hati, maka tindakan itu adalah baik. Jadi baik atau buruk
itu dilihat menurut suara hati sendiri. Meskipun demikian harus dinilai
dan diukur menurut suatu atau pendapat umum. Jadi kebajikan adalah
perbuatan yang sesuai dengan suara hati kita, suara hati masyarakat dan
hukum Tuhan. Kebajikan manusia nyata dan dapat dirasakan dalam tingkah
lakunya, karena tingkah laku bersumber pada pandangan hidup, maka setiap
orang memiliki tingkah laku sendiri-sendiri, sehingga tingkah laku
setiap orang berbeda-beda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku seseorang adalah: factor pembawaan, factor lingkungan dan pengalaman.
Usaha/perjuangan
Usaha /perjuangan adalah kerja keras untuk mewujudkan
cita-cita. Kerja keras itu dapat dilakukan dengan otak/ilmu maupun denan
tenaga/jasmani, atau dengan kedua-duanya. Kerja keras pada dasarnya
menghargai dan meningkatkan harkat dan martabat manusia. Untuk bekerja
keras manusia dibatasi oleh kemampuan, karena kemampuan terbatas timbul
perbedaan tingkat kemakmuran antara manusia satu dan manusia lainnya,
Keyakinan/kepercayaan.
Keyakinan/kepercayaan yang menjadi dasar pandangan hidup
berasal dari akal atau kekuasaan Tuhan. Menurut Prof.Dr.Harun Nasution,
ada 3 aliran filsafat yaitu :
•
Aliran naturalisme; hidup manusia itu dihubungkan dengan kekuatan gaib
yang merupakan kekuatan tertinggi. Kekuatan gaib itu dari nature, dan
itu dari Tuhan. Tetapi yang tidak percaya pada Tuhan, nature itulah yang
tertinggi. Aliran naturalisme berisikan spekulasi mungkin ada Tuhan
mungkin juga tidak ada.
•
Aliran intelektualisme; dasar aliran ini adalah logika/akal. Manusia
mengutamakan akal. Dengan akal manusia berpikir, mana yang benar menurut
akal itulah yang baik, walaupun bertentangan dengan kekuatan hati
nurani. Manusia yakin bahwa dengan kekuatan pikiran (akal) kebajikan itu
dapat dicapai dengan sukses. Dengan akal diciptakan teknologi,
teknologi adalah alat Bantu mencapai kebajikan yang maksimal, walaupun
mungkin teknologi memberi akibat yang bertentangan dengan akal. Apabila
aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup, maka keyakinan manusia
itu bermula dari akal. Jadi pandangan hidup ini dilandasi oleh keyakinan
kebenaran yang diterima akal.Benar menurut akal itulah yang baik.
Manusia yakin bahwa kebajikan hanya dapat diperoleh dengan akal (ilmu
dan teknologi). Pandangan hidup ini disebut liberalisme. Kebebasan akal
menimbulkan kebebasan bertingkah laku dan berbuat, walaupun tingkah
lakudan perbuatannya itu bertentangan dengan hati nurani. Kebebasan akal
lebih ditekankan pada setiap individu. Karena itu individu yang berakal
(berilmu dan berteknologi) dapat menguasai individu yang berpikir
rendah (bodoh).
Aliran gabungan
Dasar aliran ini idalah kekuatan gaib dan juga akal.
Kekuatan gaib artinya kekuatan yang berasal dari Tuhan, percaya adanya
Tuhan sebagai dasar keyakinan. Sedangkan akal adalah dasar kebudayaan,
yang menentukan benar tidaknya sesuatu. Segala sesuatu dinilai dengan
akal, baik sebagai logika berpikir maupun sebagai rasa (hati nurani).
Jadi apa yang benar menurut logika berpikir juga dapat
diterima oleh hati nurani. Apabial aliran ini dihubungkan dengan
pandangan hidup, maka akan timbil dua kemungkinan pandangan hidup.
Apabila keyakinan lebih berat didasarkan pada logika berpikir, sedangkan
hati nurani dinomorduakan, kekuatan gaib dari Tuhan diakui adanya
tetapi tidak menentukan, dan logika berpikir tidak ditekankan pada
logika berpikir individu, melainkan logika berpikir kolektif
(masyarakat), pandangan hidup ini disebut sosialisme.
Apabila dasar keyakinan itu kekuatan gaib dari Tuhan dan
akal, kedua-duanya mendasari keyakinan secara berimbang, akan dalam arti
baik sebagia logika berpikir maupun sebagai daya rasa (hati nurani),
logika berpikir baik secara individual maupun secara kolektif panangan
hidup ini disebut sosialisme-religius. Kebajikan yang dikehendaki adalah
kebajikan menurut logika berpikir dan dapat diterima oleh hati nurani,
semuanya itu berkat karunia Tuhan.
Langkah-langkah berpandangan hidup yang baik :
1. mengenal
2. mengerti
3. menghayati
4. meyakini
5. mengabdi
6. mengamankan
1.2 Orientasi Nilai Budaya
Kluckhohn
dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai budaya
merupakan sebuah konsep beruanglingkup luas yang hidup dalam
alam fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang
paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling
berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya.
Secara fungsional sistem nilai ini mendorong individu untuk
berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa
hanya dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam
Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara
emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan
tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai
manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut
merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya. Dapat pula
dikatakan bahwa sistem nilai budaya suatu masyarakat
merupakan wujud konsepsional dari kebudayaan mereka, yang seolah –
olah berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu.
Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang
dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994)
kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2)
hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam
ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan
(5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Berbagai kebudayaan mengkonsepsikan masalah universal ini
dengan berbagai variasi yang berbeda – beda. Seperti masalah
pertama, yaitu mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan
yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk
dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha
untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan nirwana, dan
mengenyampingkan segala tindakan yang dapat menambah rangkaian
hidup kembali (samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan seperti
ini sangat mempengaruhi wawasan dan makna kehidupan itu secara
keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup
itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh
pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada
kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk
kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada
kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk
mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat
bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada
prestasi bukan kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya
yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini
sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh
melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat
mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap
alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan
manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin
mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan
berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak
kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara
bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang
menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung
untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti
terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya
kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk
mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau
pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic
(kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika
dan mobilitas social masyarakatnya.
Inti permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly
(1994) adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam
system hubungan vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk
semua orang. Tetapi dalam masyarakat yang mementingkan kemandirian
individual, maka keputusan dibuat dan diarahkan kepada masing – masing
individu.
Pola orientasi nilai budaya yang hitam putih tersebut di atas merupakan
pola yang ideal untuk masing – masing pihak. Dalam kenyataannya terdapat
nuansa atau variasi antara kedua pola yang ekstrim itu yang
dapat disebut sebagai pola transisional. Kerangka Kluckhohn mengenai
lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya
manusia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Skema Kluckhohn: Lima Masalah Dasar Yang Menentukan Orientasi
Nilai Budaya Manusia
Masalah Dasar Dalam Hidup
|
Orientasi Nilai Budaya
| ||
Konservatif
|
Transisi
|
Progresif
| |
Hakekat Hidup
|
Hidup itu buruk
|
Hidup itu baik
|
Hidup itu sukar tetapi harus diperjuangkan
|
Hakekat Kerja/karya
|
Kelangsungan hidup
|
Kedudukan dan kehormatan / prestise
|
Mempertinggi prestise
|
Hubungan Manusia Dengan Waktu
|
Orientasi ke masa lalu
|
Orientasi ke masa kini
|
Orientasi ke masa depan
|
Hubungan Manusia Dengan Alam
|
Tunduk kepada alam
|
Selaras dengan alam
|
Menguasai alam
|
Hubungan Manusia Dengan Sesamanya
|
Vertikal
|
Horizontal/ kolekial
|
Individual/mandiri
|
*) Dimodifikasi dari Pelly (1994:104)
Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia
yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda – beda
untuk tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan
masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas selalu ada.
Sementara itu Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka Kluckhohn di
atas untuk menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia, dan
menunjukkan titik – titik kelemahan dari kebudayaan Indonesia
yang menghambat pembangunan nasional. Kelemahan utama antara lain
mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak
percaya kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, mentalitas
suka mengabaikan tanggungjawab.
Kerangka Kluckhohn itu juga telah dipergunakan dalam penelitian
dengan kuesioner untuk mengetahui secara objektif cara berfikir dan
bertindak suku – suku di Indonesia umumnya yang menguntungkan dan
merugikan pembangunan.
Selain itu juga, penelitian variasi orientasi nilai budaya tersebut
dimaksudkan disamping untuk mendapatkan gambaran sistem nilai budaya
kelompok – kelompok etnik di Indonesia, tetapi juga untuk menelusuri
sejauhmana kelompok masyarakat itu memiliki system orientasi nilai
budaya yang sesuai dan menopang pelaksanaan pembangunan nasional.
Sumber By :
Post a Comment